Minggu, November 11, 2012

Mapan Atau Belum Mapan

Usia sudah nyaris kepala 3, dengan gelar yang banyak diidam-idamkan banyak pelajar, orang tua dan calon mertua, tapi kenyataanya saya masih jauh dari kata mapan. Kata-kata mapan tersebut lebih pantas disandingkan pada beberapa teman seangkatan waktu kuliah dulu yang sekarang sudah dengan pekerjaan tetap, gaji lumayan, rumah sendiri, serta istri cantik dan anak yang lucu-lucu. Yang mana saya belum memiliki semua hal tersebut.
Setidaknya sedikit kategori mapan tersebut pernah saya alamai beberapa tahun lalu sebelum saya memutuskan kembali menjadi mahasiswa, dengan gaji lumayan, tempat tinggal semdiri (walaupun dupinjamkan dari pemda) saya bisa melakukan semua hal yang saya inginkan termasuk nyaris memiliki istri.
Bersyukur adalah satu-satunya kata yang bisa meredam rasa iri dan jenuh akan aktifitas yang selama ini saya jalani sehari-hari, Bersyukur diberi kesempatan utuk diterima kuliah kembali dialmamater saya sekarang, dengan biaya pemerintah pula (gratis tis tis). Walaupun dengan ini saya harus memendam dan menunda banyak hal, seperti mimpi berkeliling indonesia, menikah karena keterbasan dana. Karena dana tabungan yang selama ini dikumpulkan habis buat sekolah (Lho katanya gratis?). Sekolah gratis kan tidak berarti makan gratis, tempat itnggal gratis, transportasi gratis, semua butuh dana juga. Sementara saya tidak punya penyandang dana, minta dari orang tua sudah tidak mungkin lagi.
Terkadang muncul sedikit penyesalan, juga, coba dulu saya tidak memilih jadi dokter (dengan kemungkinan sekarang jadi pengangguran karena ga bisa daftar jadi PNS), atau tetap pada jalur dokter umum saja  (sambil menatap iri teman-teman yang sudah masuk PPDS). Atau menikah dulu (masalahnya dengan siapa, trus kmungkina sekolah lagi masih lama), Sayang sekali tidak ada mesin waktu ala doraemon yang memungkinkan kita kembali ke masa lalu dan memperbaiki keadaan.

Sudah syukuri saja apa yang ada...........

Senin, September 17, 2012

Saat Sulit Menyebut Angka

Postingan ini kubuat saat masih menjabat sebagai dokter PTT. Entah kenapa saat mengecek susunan file postingan di blogku, kutemukan postingan ini masih dengan label draftnya dan belum sempat untuk di publish.....

Kemarin dengan rasa penuh terima kasih yang amat sangat besar keluarga pasien ku pamit. setelah anak laki-lakinya yang sebelumnnya saya dioagnosa app akut kemudian berubah menjadi susp ileus, sembuh. keputusan untuk mengobservasi pasien tersebut setelah keluarga pasien menolak untuk dirujuk setelah penemuan tanda2 yang tidak khas untuk kedua diagnosa tersebut, berbuah manis. Pasienku sembuh. Karena pasien tersebut jamkesmas maka tentu tidak ada hitung2ngan untuk tarif yang mereka bayar. karena sudah terklaim di jamkesmas walaupun yang di bayarkan cuma 12.500 semalam. untuk semua rasa lelah mengawasi pasein tersebut. itupun masih dibagi ke 3 orang lain sebagai petugas ugd dan rawat inap, RR dan kapus.
Masalah yang muncul adalah sebagaian besar obat yang diberikan adalah obat pribadiku sendiri. Mulai dari injeksi antibiotik, NGT dll yang amat tidak disediakan oleh puskesmas, mengingat puskesmasku dengan status sangat terpencil. saat sy mengkosulkan pasien ini ke beberapa teman sejawat yg juga bekerja di PKM, mereka sedikit heran kok bisa PKM menyediakan obat dan alat yang sy gunakan. setelah cerita panjang lebar mereka akhirnya paham. setelah hitung2an melalui perawatku disebutkanlah berapa jumlah yg harus mereka bayar untuk obat dan alat tersebut. Meraka dengan senang hati pula bersedia membyarnya (pertama anaknya sembuh, kedua pelayann disini memuaskan, ketiga pada dasarnya mereka memang mampu). seorang teman yang sempat menanyakan berapa nominal yg saya tagihkan berkata, "ga rugi tuh". mungkin karena benefit nominal yg sy dapatkan bisa dibilang tidak ada. Toh semua itu tidak terlalu penting, walaupun di dalam dada sering merasa menyesal.
Program pembebasan biaya kesehatan yang dilakukan pemerintah memang sangat menguntungkan. namun itu hanya jika diliat dari sudut masyarakat dan pemerintah. masyarakat mendapat pelayanan tanpa harus membayar. pemerintah mendapatkan kepercayaan masyarakat karena programnya. Tapi pernakah mereka melihat dari sudut tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak program ini. klaim yang diberikan sangat sedikit. rawat jalan hanya dibayar 1500 perpasien, itupun belum dipotong ini itu. rawat inap hanya 12.5000 belum dibagi kemasing2 tenaga.


Senjata Pelumpuh

Kuambil spoit 5 cc dari baki obat, lalu dengan sembunyi2 kuselipkan ke tangan salah satu teman sambil berbisik "K' kuhadiahkan senjata yang mampu melumpukan semua musuh2 ta" dengan setengah bingung dia meliahat label di spoit tersebut lalu kembali menatapku sambil mengikik setelah membaca label ATRACURIUM pada spoit tersebut.


Jangan sampai jatuh ketangan pendekar berwatak jahat

Being Doctor.....................

Mengapa anda ingin menjadi dokter?

Well saat pertanyaan ini ditanyakan saat ditanyakan pada anak SMA sekarang ssat mereka memilih mencaba masuk mendaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran yang terpikir hmmmmmmmmmm serbaaaa wah, maybe karena dapat menolong orang lain (emang ga jadi dokter ga bisa menolong orang lain), atau karena prestise yang tinggi. Saat di tanya "Kuliah dimana dek?" maka dengan lantang dijawabnya "di efka". Maka yang terpikir di penanya cuman dua, klu bukan kaya sekali atau pintar sekali. Hal yang berbeda saat jaman saya kuliah dulu.

Di zaman sebelum ada jalur khusus dulu, saat biaya kuliah belum semahal sekarang, saat belum mahasiswa asing (baca malaysia) belum sebanyak sekarang, kesempatan untuk kuliah di FK Univ Negeri masih terbuka luas dengan biaya yang ga segitu mahalnya. Salah seorang kerabat ayah saya sempat terkaget saat menanyakan berapa biaya yang saya habiskan saat masuk FK, yang ga menembus nominal dengan 6 nol. Bukannya kuliah di kedokteran mahal? (Dulu mah ga, apa lagi di negeri).

Sekarang lupakan masalah proses saat bagaimana kami digembeleng menjadi dokter, tapi apa yang kami hadapi setelah menjadi dokter.
1. Lulus dokter tidak berarti menjadi bakal meraup banyak duit, pengalaman saya ngamen di jakarta dari klinik ke klinik dengan rata2 uang duduk seratus ribuan, sisanya tergantung rame tidaknya
2. Saat teman2 seangkatanmu di SMA sudah meninggalkan bangku kuliah dan merintis karir and start to making money  kamu masih marus bergelut dengan segala tetek bengek pendidikan klinik di rumah sakit.  Masih mengandalakan subsidi dari orang tua.
3. Lapangan kerja cuman itu2 saja, klu ga dirumah sakit, puskesmas, klinik, atau sebangsanya lah. Ga pernah ada dokter kerja di bank, klu pun kesempatan itu ada apa ada yang mau. Kmu bisa sja sih kerja di perusahan tambang, tapi FYI karir kmu cuman segitu-gitu aj, ga bakal naik kemana-mana.
4. Buat lanjut spesilis mahalnya minta ampun, lamanya minta ampun, capeknya minta ampun. Klu mau ambil S2 lain sama aj kaya profesi kesehatan lain yang non dokter,
5. Resiko kerjanya besar. Belum tertular pasien. Belum resiko akibat malpraktek yang bisa bikin bankrut tujuh turunan. Resiko kena bogem keluarga pasien karena pasiennya mati ditangan kita. Bukan sekali dua kali saya mendengar beberapa teman sejawat yang diancam karena gagal menolong keluarganya.

Bukan hendak menjelek2kan prefesi saya sendiri, tapi jika saya diberi kesempatan untuk mengulang kembali masa sebelum saya kuliah, kemungkinan saya akan mengambil jalur lain selain kedokteran. Ada kok beberapa sekolah yang manawarkan masa kuliah pendek dengan jaminan kerja setelah kuliah (sekolah kedinasan misalnya).

Selasa, Mei 22, 2012

To many stranger in my school

Mungkin agak sedikit aneh memanggil mereka dengan sebutan stranger...
Sekolah kedokteran merupakan komponen penting dalam negara ini, sebab disinilih tenaga medis yang akan memenuhi kebutuhan dalam negeri dididk dan dilatih. Hal serupa juga terjadi negara lainnya, hal yang menjadi alasan kenapa  sekolah kedokteran menjadi sekolah yang paling susah dimasuki oleh mahasiswa asing dinegara tersebut. Bahkan di universitas swasta yang mana biaya pendidikan tersebut tidak disubsidi oleh negara.
Berbeda dengan yang terjadi di negara kita, dimana sejak beberapa tahun silam beberapa perguruan tinggi (kebanyakan negeri) mulai berlomba untuk menerima mahasiswa asing, dengan alasan mengejar status world class university. Tidak tanggung-tanggung, jatah dari tahun ketahun semangkin meningkat bahkan bisa mencapai 20% dari total mahasiswa baru yang diterima. Okelah mereka membayar dengan dana yang lebih, total biaya pendidikan di bayar full tanpa ada subsidi dari pemerintah. Selain itu juga dibukanya kelas internasional yang sebagaian besar juga diisi oleh mahasiswa asing dianggap sebagai salah satu bentuk cara menuju gelar tersebut, dengan pengajar yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa penatar kuliah.
Masalah kemudian muncul pada tahap pendidikan profesi dimana pendidikan dijalankan 90% di klinik (baca Rumah Sakit) dimana pendidikan dilakukan di rumah sakit pemerintah yang disubsidi oleh negara. Bahkan rumah sakit pendidikan milik universitas negeri pun masih disubsidi oleh negara. Subsidi oleh negara digunakan untuk mendidik dokter asing yang kemudian akan kembali ke negaranya.... Pendidikan dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa asing terasa percuma, sebab komunikasi yang dilakukan dirumah sakit antara dokter dan pasien tetap menggunakan bahasa indonesia bukan dengan bahasa asing. Bahkan kalau lagi sial kita bisa dibikin pusing oleh pasien yang sama sekali tidak mengeri bahasa indonesia (hanya mengerti bahasa daerah setempat).
Hal ini kemudian akan mengurangi kesempatan banyak putra-putri pribumi yang ingi menjadi dokter, mereka yang mampu di otak tetapi tidak mampu secara finansial.

Sabtu, Mei 19, 2012

Make a Move

Membuat sebuah terobosan dengan ide dan kata2 bukanlah merupakan hal yang mustahil. Justru dari kata2 tersebutlah yang akan melahirkan ide yang kemudian mengerakkan orang2 untuk melakukan perubahan. Bertapa besar kekuatan yang di miliki oleh ide.
Saya ngeblog (pliss jangan diplesetkan dengan ngegoblog) sejak jaman kuliah dan masih lumayang agak sering (kata halus untuk jarang) ngeblog. Alasannya ga ada waktu (tapi lebih karena ga ada ide). Setalah lulus program profesi saya harus berkelana ke daerah terpencil untuk mengabdi pada bangsa negara dan masyarakat (????) daerah dengan akses internet yang susahnya minta ampun yang membuat saya akhirnya harus vakum dulu dari dunia blog. Setelah akhirnya get back to school, saya bisa mulai ngeblog lagi.
Siang ini notif approve saya di salah satu komunitas blogger muncul juga. Sy ketrima di Bloggers Shout Out!, yang merupakan komunitas blogger
Bloggers' Shout Out! dibuat sebagai bentuk kepedulian para blogger di Indonesia terhadap issue-issue negatif di dalam negara ini dan memperbaikinya menjadi suatu hal yang postif lewat pemikiran, kreatifitas, dan tulisan yang inspiratif yang "diteriakkan" secara bersama-sama demi membuka pikiran dan mata masyarakat Indonesia khususnya pengguna Internet.


Dengan bergabung di komunitas ini bisa membawa sesuatu  yang lebih dalam blog ini untuk perubahan yang lebih baik. So if you want to make a change... Come and join us....