Senin, September 17, 2012

Saat Sulit Menyebut Angka

Postingan ini kubuat saat masih menjabat sebagai dokter PTT. Entah kenapa saat mengecek susunan file postingan di blogku, kutemukan postingan ini masih dengan label draftnya dan belum sempat untuk di publish.....

Kemarin dengan rasa penuh terima kasih yang amat sangat besar keluarga pasien ku pamit. setelah anak laki-lakinya yang sebelumnnya saya dioagnosa app akut kemudian berubah menjadi susp ileus, sembuh. keputusan untuk mengobservasi pasien tersebut setelah keluarga pasien menolak untuk dirujuk setelah penemuan tanda2 yang tidak khas untuk kedua diagnosa tersebut, berbuah manis. Pasienku sembuh. Karena pasien tersebut jamkesmas maka tentu tidak ada hitung2ngan untuk tarif yang mereka bayar. karena sudah terklaim di jamkesmas walaupun yang di bayarkan cuma 12.500 semalam. untuk semua rasa lelah mengawasi pasein tersebut. itupun masih dibagi ke 3 orang lain sebagai petugas ugd dan rawat inap, RR dan kapus.
Masalah yang muncul adalah sebagaian besar obat yang diberikan adalah obat pribadiku sendiri. Mulai dari injeksi antibiotik, NGT dll yang amat tidak disediakan oleh puskesmas, mengingat puskesmasku dengan status sangat terpencil. saat sy mengkosulkan pasien ini ke beberapa teman sejawat yg juga bekerja di PKM, mereka sedikit heran kok bisa PKM menyediakan obat dan alat yang sy gunakan. setelah cerita panjang lebar mereka akhirnya paham. setelah hitung2an melalui perawatku disebutkanlah berapa jumlah yg harus mereka bayar untuk obat dan alat tersebut. Meraka dengan senang hati pula bersedia membyarnya (pertama anaknya sembuh, kedua pelayann disini memuaskan, ketiga pada dasarnya mereka memang mampu). seorang teman yang sempat menanyakan berapa nominal yg saya tagihkan berkata, "ga rugi tuh". mungkin karena benefit nominal yg sy dapatkan bisa dibilang tidak ada. Toh semua itu tidak terlalu penting, walaupun di dalam dada sering merasa menyesal.
Program pembebasan biaya kesehatan yang dilakukan pemerintah memang sangat menguntungkan. namun itu hanya jika diliat dari sudut masyarakat dan pemerintah. masyarakat mendapat pelayanan tanpa harus membayar. pemerintah mendapatkan kepercayaan masyarakat karena programnya. Tapi pernakah mereka melihat dari sudut tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak program ini. klaim yang diberikan sangat sedikit. rawat jalan hanya dibayar 1500 perpasien, itupun belum dipotong ini itu. rawat inap hanya 12.5000 belum dibagi kemasing2 tenaga.


Senjata Pelumpuh

Kuambil spoit 5 cc dari baki obat, lalu dengan sembunyi2 kuselipkan ke tangan salah satu teman sambil berbisik "K' kuhadiahkan senjata yang mampu melumpukan semua musuh2 ta" dengan setengah bingung dia meliahat label di spoit tersebut lalu kembali menatapku sambil mengikik setelah membaca label ATRACURIUM pada spoit tersebut.


Jangan sampai jatuh ketangan pendekar berwatak jahat

Being Doctor.....................

Mengapa anda ingin menjadi dokter?

Well saat pertanyaan ini ditanyakan saat ditanyakan pada anak SMA sekarang ssat mereka memilih mencaba masuk mendaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran yang terpikir hmmmmmmmmmm serbaaaa wah, maybe karena dapat menolong orang lain (emang ga jadi dokter ga bisa menolong orang lain), atau karena prestise yang tinggi. Saat di tanya "Kuliah dimana dek?" maka dengan lantang dijawabnya "di efka". Maka yang terpikir di penanya cuman dua, klu bukan kaya sekali atau pintar sekali. Hal yang berbeda saat jaman saya kuliah dulu.

Di zaman sebelum ada jalur khusus dulu, saat biaya kuliah belum semahal sekarang, saat belum mahasiswa asing (baca malaysia) belum sebanyak sekarang, kesempatan untuk kuliah di FK Univ Negeri masih terbuka luas dengan biaya yang ga segitu mahalnya. Salah seorang kerabat ayah saya sempat terkaget saat menanyakan berapa biaya yang saya habiskan saat masuk FK, yang ga menembus nominal dengan 6 nol. Bukannya kuliah di kedokteran mahal? (Dulu mah ga, apa lagi di negeri).

Sekarang lupakan masalah proses saat bagaimana kami digembeleng menjadi dokter, tapi apa yang kami hadapi setelah menjadi dokter.
1. Lulus dokter tidak berarti menjadi bakal meraup banyak duit, pengalaman saya ngamen di jakarta dari klinik ke klinik dengan rata2 uang duduk seratus ribuan, sisanya tergantung rame tidaknya
2. Saat teman2 seangkatanmu di SMA sudah meninggalkan bangku kuliah dan merintis karir and start to making money  kamu masih marus bergelut dengan segala tetek bengek pendidikan klinik di rumah sakit.  Masih mengandalakan subsidi dari orang tua.
3. Lapangan kerja cuman itu2 saja, klu ga dirumah sakit, puskesmas, klinik, atau sebangsanya lah. Ga pernah ada dokter kerja di bank, klu pun kesempatan itu ada apa ada yang mau. Kmu bisa sja sih kerja di perusahan tambang, tapi FYI karir kmu cuman segitu-gitu aj, ga bakal naik kemana-mana.
4. Buat lanjut spesilis mahalnya minta ampun, lamanya minta ampun, capeknya minta ampun. Klu mau ambil S2 lain sama aj kaya profesi kesehatan lain yang non dokter,
5. Resiko kerjanya besar. Belum tertular pasien. Belum resiko akibat malpraktek yang bisa bikin bankrut tujuh turunan. Resiko kena bogem keluarga pasien karena pasiennya mati ditangan kita. Bukan sekali dua kali saya mendengar beberapa teman sejawat yang diancam karena gagal menolong keluarganya.

Bukan hendak menjelek2kan prefesi saya sendiri, tapi jika saya diberi kesempatan untuk mengulang kembali masa sebelum saya kuliah, kemungkinan saya akan mengambil jalur lain selain kedokteran. Ada kok beberapa sekolah yang manawarkan masa kuliah pendek dengan jaminan kerja setelah kuliah (sekolah kedinasan misalnya).