Minggu, November 07, 2010

Foto dari lokasi kejadian













Gambar dari Lokasi...............

Wilayah kerja kami


Pusat gempa mentawai

Journey to Mentawai part 3

Timbang menimbang mana yang lebih baik dan bermanfaat, kami memutuskan untuk ikut tim Wanadri. Sekalian agar bisa dengan segera turun ke lapangan. Sore itu kami juga sempat bertemu tim dari muhamadiyah yang juga tidak tahu klu semua tim medis harus melapor ke dinas kesehatan setempat. mereka juga belum tahu mau kemana esok hari, kalaupun mau turun ke lapangan maua kemana dan dengan siapa. Rencana briefing dengan tim wanadri batal dilakukan lantaran tim advance yang dikirim untuk assessment belum kembali. Kabar yang terakhir mereka tertahan di Pagai Selatan entah karena masalah cuaca atau yang lain.

Rencana turun lapangan di hari kedua batal dilakukan. Pagi itu kami sesama tim medis yang bergabung dengan wanadri sempat berbicang masalah koordinasi, hambatan di lapangan dan rencana yang akan dilakukan nanti. Untuk mengisi kekosongan kami mengisi poli umum di Rumah Sakit Lapangan milik KOSTRAD TNI, lumayanlah disana bisa melayang seratusan pasien. Sore hari menjelang magrib pelayanan selesai. Saat pulang kembali ke posko, tim advance yang kemarin tertahan telah kembali. Setelah melihat perkembangan yang tealah terjadi karena siang tadi sempat sejumlah tim dari beberapa perusahaan seperi PT INCO, PT BUKIT ASAM dan BSMI telah menembus daerah pagai selatan dan mengisi daerah daerah yang efek kerusakannya cukup parah. Sehingga jika kami menuju ke selatan maka tidak akan begitu efektif.

Maka diputuskan kami akan ke Pagai Utara. Info yang di dengar di daerah munte barubaru dan sibagunggung cukup parah. Kabarnya pula tim dari Dompet Dhuafa telah berhasil menembus daerah tersebut. Dan kabarnya lagi bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua, hanya ada satu titik dimana kendaraan harus di pikul untuk menyebrangi sungai sungai. Akhirnya tim dibagi dua tim pertama akan memberikan menuju desa munte dan yang kedua menuju sibagunggung. Setelah konfirmasi ulang dengan tim Dompet Dhuafa, ternyata mereka belum pernah sama sekali meembus kedua daerah tersebut. Walah..... Rencana berubah kembali. Akhirnya diputuskan tim yang diturunkan hanya satu, selain melakukan pelayanan kesehatan juga sebagai assessment agar tim kedua dapat turun keesokan harinya. Dan waktu itu yang turun cuman dr. Donald.

Keesokan harinya sambil menemani tim mempersiapkan segala sesuatunya, tim Surf Aid datang ke posko dan menanyakan apakan ada dokter yang bersedia menemani mereka untuk ke Pagai Selatan memberikan bantuan via laut. Maka tanpa berpikir dua kali saya mengiakan permintaan tersebut. Lima menit waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan semuanya.
Bersambung.............................

Sabtu, November 06, 2010

Journey To Mentawai Part 2

Dengan menumpang KMP Ambu-Ambu kami sampai di Sikakap Mentawai pada pagi harinya. Saat tiba di Sikakap kami mulai kebingungan kemana kami akan pergi, kenapa tidak ada koordinasi dari pemerintah setempat. Apa ada tempat melapor khusus buat relawan medis. Hampir semua relawan yang datang bersama kami telah mengirim tim awal baik untuk assesment, bahkan untuk mempersiakan segala yang dibutuhkan untuk tim yang datang berikutnya. Setelah bertanya kiri kanan kami medapatkan info bahwa semua tim relawan melaporkan di posko utama yang bertempat di kantor kecamatan di Sikakap.

Btw di Sikakap sendiri tidak terkena dampak apapum baik gempa ataupun tsunami. Dampak yang terlihat hanya karena banyaknya gedung publik yang beralih fungsi menjadi posko relawan. Kehidupan masyarakat disini terlihat berjalan biasa.

Dengan meyewa kendaraan sendiri (dengan harga yang irasional) kami menuju ke posko utama. Disana sini sudah tampak tenda2 dengan bendera dan spanduk masing-masing organisasi, NGO, perusahaan bahkan TV swasta. Btw saya tidak melihat adanya tenda pengungsi. So dimanakah para pengungsi tersebut berada? Selesai melapor kami mulai kebingungan, mau kemana? Tadi sempat ada tawaran dari muhamadiyah untuk bergabung bersama mereka. Tapi...... Kami untuk sementara menumpanng tenda BASARNAS, sambil mencari2 informasi terbaru seputar korban, lokasi bencana dll. Dari salah seorang kru BASARNAS kami mendapatkan info klu ada tim yang membutuhkan tim MEDIS karena rencana meraka akan ke daerah Pagai Selatan esok hari. Titik terang mualai tampak. Kami pun di anatar kesana.

Ternyata mereka adalah gabungan beberapa organisasi, mulai dari WANADRI, AMP FK UMPAD, TBM UNRI, dan TBM UNAND bersama kami AMDA. Setelah ngobrol beberapa saat kami memutuskan untuk bergabung bersama mereka. Pertimbangannya kami tidak mungkin turun ke daerah pesisir dengan hanya kami bertiga. Pertama sewa boat yang sangat mahal, bisa sampai beberapa juta rupiah untuk perjalan satu hari. Kedua kami tidak mengenal medan di pesisisr mentawai, dan ketiga, kami butuk tim untuk mengankut logistik dan obat2an. Rencanaanya kami akan ke pagai selatan esok harinya. Kemarin mereka telah menurunkan tim awal untuk assesment, tim terbagai 2, ada yang lewat darat dan lewat laut. Keduanya akan bertemu di tempat yang telah dutentukan. Rencana perjalanan besok semua tergantung informasi yang dikumpulkan dari kedua tim tersebut. Tapi kemungkinan besar kami akan melalui jalan darat mengngat jalan laut sangat beresiko mengingat tingginya gelombang laut di daerah pesisir barat metawai. Jam 19.00 malam bakal ada briefing mengenai rencanma besok.

Sambil menunggu kami memutuskan melihat sebagian korban tsunami yang dirawat dipuskesmas. Dari info yang kami terima terdapat beberapa tempat perawatan korban tsunami, yaitu 2 gedung di puskesmas Sikakap, di gereja dan satu lagi di Rumah Sakit lapangan milik KOSTRAD. Tiba disana setelah sedikit melakukan observasi dan sedikit intervensi, hehehehe... Kami di tanya apakah sudah melapor ke Dinas Kesehatan setempat? (melapor lagi). Disana kami diberi sedikit pengarahan lalu mendaftarkan diri. Disinipun ternyata telah banyak dokter yang mendaftarkan diri. Karena dokternya lumayan abanayk maka untuk perawatan dibagi dalah 3 shift, itupun hanya untuk 3 tempat karena RS lapangan di pegang oleh KOSTRAD. Untuk turun kelapangan pun mereka hanya mengandalkan helikopter milik TNI dan itupun tidak setiap hari bisa beroperasi karena kendala cuaca. Itupun sekali turun hanya satu dokter dan satu perawat yang dibolehkan ikut. Dan hanya laki-laki. Rencananya sebentara malah akan ada krapat koordinasi oleh dinas kesehatan. Sekarang kami bingung lagi mau ikut yang mana tim dinkes atau wanadri. Karena dari dinas kesehatan pun memberikan keleluasaan mau gabung bersa mereka di puskesmas boleh, mau turun lapangan boleh asal punya boat dan perlengkapan untuk safety.
Bersambung.....................

Jumat, November 05, 2010

Journey To Mentawai part 1

Indonesia sedang beduka, bencana beruntun melanda tanah ini. Mulai dari banjir bandang di wasior, gempa dan tsunami yang melanda mentawai dan erupsi gunung merapi. Dibawah bedera AMDA (Association of Medical Doctor of Asia, kami dikirim sebagai tenaga kemanusiaan di mentawai. Berhubung keinginan menjadi tenaga kemanusiaan sudah ada sejak dulu namun belum tersalurkan maka tawaran ini langsung diiyakan (walaupun sebenarnya ada motif lain hehehehe).

Keberangkatan yang mendadak membuat persiapan kami serba terburu-buru, dan banyal barang yang kami tidak sempat persiapkan dari makassar. Berangkat tanggal 28 oktober 2010 dengan tujuan jakarta-padang. Walaupun sempat terkendala beberapa masalah saat di jakarta akhirnya sore harinya kami sampai di Padang dengan selamat. Saat di padang kami langsung menuju ke kantor Gubernur Sumatera Barat, tempat Posko Penganggulangan Bencana Tsunami Mentawai berada. Disana kami harus melapor ke Untuk konfirmasi pendaftaran sebagai tenaga relawan kemanusiaan. Disini kami mencari semua informasi yang diperlukan sehubungan kegiatan kami di mentawai, mulai data korban dan kerusakan di mentawai, perkiraan cuaca di mentawai yang diambil langsing dari BMKG untuk beberapa hari kedepan dan jadwal kerangkatan kapal ke metawai. Sayangnya kami terlambat untuk kapal terakhirhir hari itu dan terpaksa harus menginap sambil menunggu untuk keberangkatan esok hari.

Selama di posko bantuan terus berdatangan dari berbagai pihak, mulai dari presiden SBY, PMI, bahkan dari Red Cressent Turki. Secara kebetulan juga kami bertemu sesama dari Makassar, wartawan harian Fajar Anggie. Sambil menunggu keberangkatan besok kami mempersiapkan beberapa barang yang belum sempat di beli di makassar.

Sabtu sore dengan menyewa mobil sendiri kami menuju ke pelabuhan ASDP Bungus tempat pemberangkatan tenaga relawan ke mentawai. Dengan menumpang KMP Ambu-Ambu. Disana puluhan relawan sudah merkimpul mereka berasal dari berbagai organisasi bahkan perusahaan, mulai dari BSMI, PT Bukit Asam, PT Inco, BASARNAS, PMI, TBM beberapa Universitas, Muhammadiah, wartawan dalam dan luar negeri, dll.

Perjalanan memakan waktu kurang lebih 12 jam dengan cuaca yang kurang bersahabat. Hujan dengan angin yang kencang dengan laut yang bergelombang. Minggu pagi kami sampai di Sikakap Mentawai, dan apa yang selama ini saya khawatirkan sejak berada di padang mulai terbukti. Bersambung....................

Sabtu, September 11, 2010

The real Ground Zero Mosque

In the midst of the heated debate about the construction of an Islamic center two blocks away from the site of the World Trade Center, Samuel Freedman tells a story that should be heard by everyone who has declared their concern about the sensitivity of this issue.

Sometime in 1999, a construction electrician received a new work assignment from his union. The man, Sinclair Hejazi Abdus-Salaam, was told to report to 2 World Trade Center, the southern of the twin towers.

In the union locker room on the 51st floor, Mr. Abdus-Salaam went through a construction worker’s version of due diligence. In the case of an emergency in the building, he asked his foreman and crew, where was he supposed to reassemble? The answer was the corner of Broadway and Vesey.

Over the next few days, noticing some fellow Muslims on the job, Mr. Abdus-Salaam voiced an equally essential question: “So where do you pray at?” And so he learned about the Muslim prayer room on the 17th floor of the south tower.

He went there regularly in the months to come, first doing the ablution known as wudu in a washroom fitted for cleansing hands, face and feet, and then facing toward Mecca to intone the salat prayer.

On any given day, Mr. Abdus-Salaam’s companions in the prayer room might include financial analysts, carpenters, receptionists, secretaries and ironworkers. There were American natives, immigrants who had earned citizenship, visitors conducting international business — the whole Muslim spectrum of nationality and race.

Leaping down the stairs on Sept. 11, 2001, when he had been installing ceiling speakers for a reinsurance company on the 49th floor, Mr. Abdus-Salaam had a brief, panicked thought. He didn’t see any of the Muslims he recognized from the prayer room. Where were they? Had they managed to evacuate?

He staggered out to the gathering place at Broadway and Vesey. From that corner, he watched the south tower collapse, to be followed soon by the north one. Somewhere in the smoking, burning mountain of rubble lay whatever remained of the prayer room, and also of some of the Muslims who had used it.

Given the vitriolic opposition now to the proposal to build a Muslim community center two blocks from ground zero, one might say something else has been destroyed: the realization that Muslim people and the Muslim religion were part of the life of the World Trade Center.

Opponents of the Park51 project say the presence of a Muslim center dishonors the victims of the Islamic extremists who flew two jets into the towers. Yet not only were Muslims peacefully worshiping in the twin towers long before the attacks, but even after the 1993 bombing of one tower by a Muslim radical, Ramzi Yousef, their religious observance generated no opposition

“We weren’t aliens,” Mr. Abdus-Salaam, 60, said in a telephone interview from Florida, where he moved in retirement. “We had a foothold there. You’d walk into the elevator in the morning and say, ‘Salaam aleikum,’ to one construction worker and five more guys in suits would answer, ‘Aleikum salaam.’ ”

One of those men in suits could have been Zafar Sareshwala, a financial executive for the Parsoli Corporation, who went to the prayer room while on business trips from his London office. He was introduced to it, he recently recalled, by a Manhattan investment banker who happened to be Jewish.

“It was so freeing and so calm,” Mr. Sareshwala, 47, said in a phone conversation from Mumbai, where he is now based. “It had the feel of a real mosque. And the best part is that you are in the epicenter of capitalism — New York City, the World Trade Center — and you had this island of spiritualism. I don’t think you could have that combination anywhere in the world.”

Jumat, September 10, 2010

Hukum Sholat Jumat Bersamaan Dengan Hari Raya (Idul Fitri / Adha)




Berhubung lebaran kali ini bertepatan dengan hari jumat........taken from Hizbut Tahrir Indonesia website.

Hukum Sholat Jumat Bersamaan Dengan Hari Raya (Idul Fitri / Adha)
Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Demikian juga idul Fitri 1431 H sekarang juga jatuh pada hari jumat. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :
“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”
Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.
2.Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.
Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.
2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.
Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”
Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) —-yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?
Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 2/273)
2.2.Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat).
Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.
2.3.Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.
Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.
Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.
2.4. Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.
Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jumat.
3.Meninjau Pendapat Lain
3.1.Pendapat Imam Syafi’i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.
Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata : “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”
Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.
3.2.Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”
Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i.
Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.
3.3.Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.
Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :
عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).
Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.
Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.
Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
4.Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.
Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.
= = =
*M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, adalah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.
Abu Abdillah As-Sa’dun, Ijtima’ Al-I’dayni, (Riyadh : t.p.), t.t. 12 hal.
Abu Hafsh Ar-Rahmani, Tsalatsu Masa`il Fiqhiyyah, (t.t.p. : t.p.), t.t. 33 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.
Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.
———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.
Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal
Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal

Sabtu, Agustus 21, 2010

Collateral Murder, 5 Apr 2010

Summary
5th April 2010 10:44 EST WikiLeaks has released a classified US military video depicting three airstrikes from a US Apache helicopter on July 12, 2007 in New Baghdad, Iraq. At least eighteen people were killed in the airstrikes, including two journalists working for Reuters, Saeed Chmagh and Namir Noor-Eldeen.
The video was recorded by the gunsight camera on the Apache helicopter, identified as Crazyhorse 18, and is accompanied by the radio communications of the helicopter gunmen as they communicate with their commanders and troops on the ground.
When the video begins, the helicopter is circling above the city. It then focuses in on a group of men walking in the street, including the Reuters journalists. The soldiers in the helicopter state that they see members of the group carrying weapons, ask their commanding officers for permission to engage (fire), and fire upon the group with 30mm rounds.
The camera then follows Chmagh as he crawls along the road, and the soldiers can be heard urging him to pick up a weapon. A van, carrying 2 children to special school along their farther, arrives and several men pick Chmagh up and begin to carry him toward the van. The helicopter requests and is given permission to fire upon the van as it tries to leave. They fire upon the van with 30mm rounds.
The video then shows ground troops arriving at the area. A soldier can be seen running as he carries one of the children wounded in the attack on the van.
In the third attack depicted in the video, the Apache helicopter fires upon a building with Hellfire missiles. The video shows several armed and unarmed people entering the building, which is described as abandoned or under construction. The building was occupied by 3 families. The helicopter requests and receives permission to fire upon the building, and shoots three Hellfire missiles. A man can be seen walking in front of the building as the first missile is shot, and several people helping the wounded are visible around the building as the second and third missiles hit.
After the incidents, Reuters filed a Freedom of Information Act request for the video, without success. Several scenes from this video were described by the Washington Post reporter David Finkel in his book "The Good Soldiers". The Washington Post later stated that they never had the video.

Jumat, Agustus 20, 2010

Back


Whats word back means...
Back bisa bearti belakang atau kembali, atau kembali ke belakang (Back to back: istilah yang saya dengar dari HBO, jika penayangan serialnya dari episode pertama sampai terakhir ditayangkan secara berturut-turut). Hmmmm.... back disini berarti saya memutuskan kembali ngeblog setelah hampir dua tahun saya vacum membuat postingan. Padahal dulu bisa dibilang hampir tiap hari saya mebuat postingan dari postingan yang ga penting, postingan copi paste punya orang, sampai postingan original yang oleh teman2 sesama blogger di acungi jempol (menurut perasaanku sih). So here i am....
Well kemana saya selama hapir dua tahun ini? ringkasnya tetap seperti dahulu melanjutkan PTT, sesekali melarikan diri ke makassar, melarikan diri ke bandung jakarta n sekitarnya sampai sempat tersesat di kepulauan raja ampat papua barat.
Dan sekarang saya memutuskan untuk kembali naik gunung ke almamater untuk memperdalam ilmu kanuragan (hehehehe aya aya wae), singkatnya sekarang kembali menjadi anak kuliahan walaupun dengan metode dan status yang berbeda saat pendidikan S1 dulu. Smoga terlewati dengan cepat........