Rabu, April 13, 2011

Cospiracy of Silence

Kemarin baru baca postingan tentang diputarnya film documenter Konspirasi Hening (Conspiracy of Silence) pada 7 April 2011 di Gedung LBH Jakarta, Jln. Diponegoro No. 74, Menteng, Jakarta Selatan. Film yang bercerita tentang sebuah film dokumenter yang memotret para korban malpraktek dan para pengidap penyakit dari kalangan miskin yang tidak punya daya untuk berobat. Dengan banyaknya keluhan dan kasus malpraktek yang marak terjadi membuat saya mencoba menuturkan satu atau dua paah kata tentang apa yang tejadi di balik dinding2 rumah sakit, dibalik kamar periksa dan dibalik jas putih para dokter….

Sepertinya sekarang profesi dokter sedang dijepit, dijepit oleh keadaan dimana disatu pihak harus selalu memberikan layanan prima tanpa cela, ketakukan akan tuntutan malpraktek yang terkadang bukan oleh kesalahannya, dan oleh system pemerintahan yang memberlakukan layanan kesehatan gratis dengan klaim yang minim itupun entah bakal diberi atau tidak.

Malpraktek sendiri secara simpelnya bisa diterjemahkan jika melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medik atau tidak melakukan sesuatu yang sesuai dengan standar pelayanan medic atau melakukan sesuatu yang bukan kompetensi kita. Malpraktek sendiri menjadi momok bagi kedua belah pihak baik bagi pasien maupun bagi pihak dokter. Bagi pasien karena tidak mendapatkan kesembuhan yang ia harapkan dan bagi dokter ini bisa berarti penjara atau ganti rugi dengan nominal yang luar biasa besar.

Sebenarnya tuntutan kasus malpraktek bisa dihindari jika semua kaidah dalam pelayanan medis diikuti. Baik dari pihak pasien maupun pihak dokter. Pihak dokter harus selalu mengikuti SPM (standar pelayanan medik), malkukan pemeriksaan dan terapi sesuai indikasi, membuat rekam medic dengan benar, serta yang paling penting adalah komunikasi efektif dengan pasien termasuk didalamnya adalah informed consent. Pasien juga harus jujur serta memberikan semua informasi dengan benar serta mematuhi semua intruksi dari dokter. Komunikasi sering menjadi alasan sehingga beberapa komplikasi atau kegagalan terapi berubah menjadi anggapan kesalahan yang dilakukan oleh pihak dokter. Salah satu contoh yang paling sering terjadi adalah sindrom steven jonshon, yang merupakan bentuk reaksi alergi yang berat yang menyebkan kulit dan mukosa pasien melupuh seperti luka bakar. Biasanya pasien meninggal akibat infeksi berat. Pertama tidak ada seorangpun yang bisa memprediksi kalau keadaan ini bisa terjadi, hal ini bisa terjadi oleh pemberian obat. Walaupun ada beberapa jenis obat (salah satunya antibiotic) yang dianggap sebagai biang kerok namun hal ini jarang terjadi. Bahkan karena obat yang dibeli diwarung sekalipun bisa menyebabkan reaksi alergi ini. Kalau hal ini sudah terjadi siapa yang harus disalahkan.

Okelah beberapa hal terjadi karena hal dapat terjadi karena kelalaian atau karena kurang hati-hati, semisal tertinggalnya kasa atau peralatan bedah dalam perut pasien setelah operasi atau terpotongnya saluran kencing pasien saat operasi sesar. Hal ini tentu saja merupakan bentuk malpraktek dan hukum dapat dituntut. Tetapi jika kemudian kegagalan terapi atau karena keadaan pasien yang memburuk serta merta dijadikan alasan bagi kami para dokter untuk disalahkan dan dituntut secara hukum. Maaf kami bukan Tuhan kami hanya hanya mencoba mengobati dan berusaha, urusan hasil serahkan pada yang diatas. Tapi ini bukan berarti kami menjadikan kata-kata “yang di atas” sebagai pembelaan tapi banyak hal yang mempengaruhi keberhasilah terapi atau tindakan. Ilmu medis bukan sepenuhnya ilmu pasti, 2 + 2 dalam medis memang seharusnya menjadi 4, tetapi pada beberapa kasus hal ini bisa menjadi 1 atau 5, respon tiap orang berbeda. Beberapa dapat diprediksi dan beberapa lagi tidak dapat diprediksi.