Kesan pertama saat nonton yang bajakan, ini film kok loncat2 kayak cuman potongan-potongan saat FACHRI ketemu dengan wanita-wanita yang mewarnai kehidupannya, padahal panjang filmnya sekitar 50 menit, tapi ternyata memang di film aslinya seperti itu !!! Buat yang udah baca novel, bisa dibilang 50 menit pertama ini sang sutradara telah memadatkan dari 18 BAB AWAL DI NOVEL !! dan hampir di keseluruhan 50 menit ini yang ditonjolkan adalah Fachri bertemu dengan wanita-wanita yang mewarnai kehidupannya, hanya ada beberapa adegan yang tidak menampilkan kejadian itu ( misal saat Talaqi ).

Baca lebih lanjut klik link, tapi ingat.. SPOILER ALERT !!! Buat yang dah baca novel atau liat film-nya mungkin tidak terlalu masalah, tapi buat yang belum baca… resiko ditanggung sendiri yah

Di awal film pun ada kesan yang kurang baik dan tidak mencerminkan sosok Fachri yang ada di novel bahkan adegan ini tidak ada di film. Adegan pertama Fachri mengetuk pintu flat maria dan meminta tolong maria untuk membetulkan PC. Adegan ini tidak pernah ada di novel dan yang sangat disayangkan, di adegan pertama ini sosok Fachri dkk yang tinggal di flat jadi berbeda dengan di novel, dimana di novel mereka selalu digambarkan sebagai sosok yang menjaga islam, pergaulan bahkan sampai-sampai di salah satu bab maria bilang bahwa Fachri ini tidak pernah mau jalan beriring dengannya dan selalu di depannya bila naik tangga, semua karena Fachri menjaga pandangannya. Tapi kesan di adegan pertama ini, mereka lebih “bebas” dengan wanita yang bukan muhrim, bisa dilihat bagaimana Maria bebas masuk ke flat dan diam lama disana membantu pengetikan proposal tesis, juga bagaimana sikap mereka ke maria, adegan pertama yang cukup mengecewakan buat yang sudah membaca novel. Mungkin lebih baik bila pengenalan maria ini menggunakan adegan saat mereka bertemu di metro dimana Maria membaca surat Maryam (adegan ini muncul di saat scene fachri berusaha menyadarkan maria ). Masih di awal film juga, kok ada adegan sedang makan sambil berdiri yah ??? bahkan ini dilakukan oleh syaiful dan juga fachri hampir melakukan hal yang sama… selain itu perhatikan saat Nurul menggunting photo fachri lalu menuliskan kata arab lelaki tersayang… lihat ujung spidol-nya itu di kanan, bukan di kiri !!! sementara tulisan arab itu dari kanan ke kiri…. lalu gk terlalu lama, ada adegan dimana temannya fachri memberikan kertas juga maria memberikan kertas yang isinya tulisan arab, tapi FACHRI MEMBACA DARI KIRI KE KANAN, bisa dilihat dari arah gerakan jari fachri… hehehehe sejak kapan tulisan arab dari kiri ke kanan yah :D

Adegan-adegan berikutnya pun ada yang terasa mengganggu. Adegan saat pertama kali Fachri bertemu Aisha di atas metro mini. Di Novel digambarkan dialog yang terjadi antara Fachri dengan orang Mesir, dimana mereka berdebat secara ilmu walaupun ada emosi, namun disana akhirnya berakhir dengan damai dimana si lelaki mesir mencium kepala fachri dan berterima kasih atas nasehatnya, bahkan di novel dituliskan dengan jelas akan sifat orang mesir ini :

Salah satu keindahan hidup di Mesir adalah penduduknya yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah meledak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda dan hilang tanpa bekas. Tak ada dendam di belakang yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja. ( Bab 2 Ayat-ayat Cinta - Peristiwa di dalam metro ).

Namun yang ada di film justru bertolak belakang. Adegan berakhir dengan sang pria mesir memukul Fachri dengan keras hingga terjatuh. Mungkin maksudnya untuk mendramatisir suasana, juga agar menimbulkan kesan dari diri Aisha ke Fachri. Namun sayangnya justru merusak suasana keindahan hidup beragama, dimana muslim itu tidak hanya berdasarkan emosi namun juga hidup berdasarkan pedoman Al-Qur’an dan hadist. Justru karena Fachri bisa meredakan emosi dengan dalil yang jelas dan menyadarkan orang-orang mesir itu maka aisha tertarik.

Adegan-adegan berikutnya menegaskan kalau penggambaran kehidupan tokoh2 di film ini cenderung lebih “bebas” daripada di novel ( bebas bukan bebas seperti pergaulan remaja sekarang ). Bisa dilihat dari adegan adanya akhwat yang berani langsung memberikan surat cinta ke fachri secara tatap muka, 2 akhwat yang berani gosip di depan fachri dengan membahas fachri, saat noura berani memberikan surat cinta langsung ( di novel surat cinta dari noura itu melalui syaikh ahmad ), Fachri yang mau berdua-dua-an di tepi sungai nil dengan maria dan berbicara tentang cinta dan hati, bahkan sampai saling menatap ( untungnya adegan ini terselamatkan dengan adanya scene dimana Fachri ber-istigfar dan pergi ) padahal di novel digambarkan jelas kalau Fachri tidak seperti itu.

Adegan lain yang terasa mengganggu adalah saat penggambaran suasana rumah tangga fachri dengan aisha. Aisha dalam novel digambarkan sebagai wanita modern tapi sangat menjaga islam, sabar, nurut ke suami dan juga terbuka. Tapi sayangnya dalam film, karakter Aisha ini berbeda. Aisha di film digambarkan cenderung seperti wanita yang sombong karena lebih kaya, selain itu juga pencemburu dan juga tidak terlihat kesabarannya.

Hal lain yang mengganggu adalah saat hampir mencapai puncak film/novel, yaitu penyakit maria… Dari yang di novel gara-gara pembengkakan darah di otak menjadi gara-gara tabrakan yang disengaja. Mungkin maksudnya biar lebih terdramatisir tapi justru jadi aneh. Kesembuhan Maria pun ada yang sedikit mengganggu walaupun secara overall sudah bagus penggambaran emosi Aisha-nya, yang mengganggu adalah adanya pembacaan Syahadat sesudah pernikahan, padahal di novel digambarkan kalau sesudah nikah itu Maria masih belum masuk Islam. Selain itu di saat persidangan pun adegan kesaksian maria dan pengakuan noura kurang baik. Di Novel digambarkan secara emosional bagaimana jalannya persidangan itu, bagaimana emosi-nya Maria, bagaimana Kesadaran Noura yang semuanya mampu membawa pembaca ke lingkup emosi yang sangat baik, namun di film semua itu tidak ada.. persidangan di film justru emosi diciptakan dari penonton sidang… tidak ada adegan maria bersaksi dengan penuh semangat, bahkan yang seharusnya jatuh sakit karena terlalu emosi tidak ada, maria tetap segar bugar. Pengakuan Noura pun aneh.. Di Novel diceritakan kalau Noura itu diperkosa oleh bapak angkatnya itu di malam dia diusir dari rumah, tapi di film diceritakan perkosaan terjadi karena Noura coba ke flat Fachri untuk menanyakan jawaban atas surat cintanya ( >.<>

Namun yang paling terasa mengganggu adalah ending !!! Di Novel, digambarkan bagaimana Maria yang setelah persidangan jatuh sakit lagi mendapatkan hidayah di akhir hidupnya, bagaimana dia melukiskan tentang surga, Maryam dll. Ini adegan yang sangat penting dan sangat menguras emosi pembaca. Namun justru adegan ini TIDAK ADA SAMA SEKALI di FILM !!!!! Padahal tidak perlu menggambarkan bagaimana dialog Maria saat dalam alam tidak sadar, cukup melalui dialog maria dengan fachri dengan bercerita dan tentunya dengan acting yang bagus. Namun yang terjadi justru film diperpanjang dengan menggambarkan kehidupan rumah tangga Fachri dengan berpoligami, bagaimana disini kembali Aisha digambarkan sebagai wanita pencemburu yang tidak sabar dan tidak ikhlas. Benar-benar adegan yang sangat aneh, walaupun ada unsur nasehat yang bagus tapi menjadikan alur cerita aneh dan kehilangan fokus. Ending masih cukup baik, dimana Maria meninggal saat sholat tapi sayang tidak bisa menguras emosi dari penonton.

Hal lain yang cukup mengganggu adalah tidak adanya tokoh keluarga maria secara lengkap. Padahal keberadaan mereka itu yang menjadi kunci dari pesan bagaimana Islam dan kristen koptik di mesir itu bisa hidup berdampingan dengan ramah, dengan saling menghormati… selain itu penggambaran alicia yang berubah setelah membaca jawaban dan tulisan fachri hingga dia menjadi muallaf pun tidak ada…

Mungkin film ini dibuat tidak sama dengan novel tapi tidak seharusnya begitu banyak perbedaan dan mengganggu jalan cerita. Kesamaan yang ada hanya di beberapa adegan dan juga kisah fachri secara global. Namun sayangnya pesan-pesan moral dari novelnya jadi tidak tersampaikan dengan baik dan penuh. Terlepas dari faktor komersial ataupun agar film ini diterima oleh semua kalangan maka lebih disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari di Indonesia, film ini cukup jauh dari novelnya. Padahal setting film itu Mesir, maka gambarkanlah keadaan mesir, bukan Indonesia.

Secara overall, film ini masih bagus dan masih layak ditonton… banyak pesan-pesan, nasihat-nasihat yang bagus buat muslim di dalam film ini. Namun sayangnya karena film ini diangkat dari novel maka orang akan selalu membandingkan dengan novelnya dan akan menemukan banyak kekecewaan karena pesan-pesan di novel banyak yang hilang.

Jadi buat yang sudah membaca novelnya tapi baru mau menonton film ini, siap-siap untuk kecewa bila mengharapkan cerita dan permainan emosi yang sama dengan novel. Anggap kita sedang menonton film dengan cerita yang baru saja. Sementara buat yang sudah atau mau nonton film ini, disarankan sesudah menonton untuk membaca novelnya agar lebih mengerti jalan ceritanya dan menangkap pesan-pesan sang pengarang, juga untuk lebih mengerti bagaimana indahnya cinta dalam islam
Terakhir.. terlepas dari segala kekurangannya, Film ini masih cukup bagus untuk ditonton.

Saya minta maaf kalau tulisan ini banyak menyinggung perasaan orang lain, namun inilah yang saya rasakan saat menonton film ini di XXI ^_^